Cari Blog Ini

Rabu, 09 Maret 2011

Pemungut Ranting Pencipta Tari Sasak

Keseharian Amaq Raya kini mencari ranting-ranting kayu di pinggiran dusun. Sudah hampir lima tahun terakhir sang maestro tari Sasak itu tak pernah berpentas, karena gamelannya sudah rusak. "Harga gamelan yang sederhana itu sekitar Rp 15 juta. Kalau pakaian, masih ada," kata lelaki berusia sekitar 70 tahun itu pada pertengahan Juli lalu.
Nama aslinya Saleh, tapi dia lebih terkenal dengan sebutan Amaq Raya atau Bapak Raya, karena Raya adalah anak pertama dari istri ketiganya. Dia tinggal di sebuah rumah di Dusun Dasan Baru, Desa Lenek Daya, Kecamatan Aikmel, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Rumah seluas 7 x 5 meter itu berdinding bata tanpa semen, dengan kamar-kamar tanpa pintu. Rumah itu dia bangun dari santunan yang diberikan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata selama enam bulan ketika dia dinobatkan sebagai maestro seni tradisional pada 2007. Di rumah itu, ia hidup bersama istri ketujuhnya, Salmah, 65 tahun, dan tiga anaknya.
Amaq Raya adalah seniman serba bisa. Dia dapat menari gandrung, tandak geruk, dan janger. Dia bisa pula mementaskan teater-tutur Cupak Grantang dan Pemban Selaparang. Dia juga pandai membaca lontar monyeh beraksara Kawi dalam tradisi kesenian cepung, yang ditembangkan dengan iringan musik suling dan redep (rebab).
Setelah begitu banyak menguasai tari-tari itu, "Saya mengarang tari-tari baru," katanya. Pertama kali dia menciptakan tari Gagak Mandi dan Pidata pada 1956. Tari Gagak Mandi diciptakannya setelah melihat burung-burung gagak sedang mandi di sebuah sungai. Dia juga menciptakan Pakon, tari untuk mengobati orang sakit.
Ketika Presiden Soekarno datang ke Mataram pada 1958, Amaq Raya dan kelompok keseniannya berpentas. Dalam acara itu pula Amaq Raya mendengar suara piano, yang mengilhaminya untuk menciptakan Kembang Ja gung, tari muda-mudi dengan iringan gending tradisional dan sisipan irama piano pada interlude.
Keahlian menari dan bermusik Amaq Raya diperoleh dari ayahnya, seniman kondang di Desa Lenek, yang terkenal sebagai gudang seniman tradisi. Di masa jayanya, dia kerap diundang tampil di Istana Negara dan berbagai daerah, termasuk tur di tiga provinsi di Jepang. Putrinya, Ayuningsih, sudah tampil memainkan kecimol (musik dari gamelan, suling, dan gendang Lombok) di Istana Merdeka pada 1990.
Tapi, seiring dengan makin pupusnya kesenian tradisional, kehidupan Amaq Raya juga makin sulit. Ayuningsih kini mengadu nasib sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi. Amaq Raya sendiri sudah renta dan sakit-sakitan selama lima tahun terakhir ini. "Saya sakit maag. Tidak bisa bekerja keras lagi," katanya.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat, Mahdi Muhammad, mengaku sudah berupaya melestarikan kebudayaan lokal dengan memberi para seniman kesempatan pentas di berbagai acara, seperti Festival Seni Tradisi di Taman Budaya Nusa Tenggara Barat pada Ahad pekan lalu.
Kepala Taman Budaya, Lalu Agus Fathurrahman, mengatakan bahwa tempatnya menggelar 15 acara kesenian tradisional dalam setahun. "Acara itu sebagai apresiasi, bukan pembinaan," ujarnya, sehingga bila masyarakat tidak mendukung, kesenian itu akan punah.
Taman Budaya, kata dia, bertindak sebagai laboratorium dan etalase kesenian. "Kami memfasilitasi eksperimen seni tradisi dengan pendekatan estetika modern," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar